Laman

Jumat, 18 Mei 2012

cerpen Bayangan Cinta

BAYANGAN CINTA Kokokan ayam jantan telah lama lewat, suara azan shubuhpun telah memanggil sejak tadi, hatiku tak mau bangun, pikiranku masih kalud dengan sikap Arya padaku, dan,hatiku terasa sesak serta galau, hingga membuat mataku terasa berat tuk kubuka meski aku yakin matahari telah menampakkan cahayanya semenjak tadi. Sejenak aku bertanya pada diriku yang buta ini, kenapa dia tega menyiksa kalbuku, menggantungkan cintaku padanya dan membuatku memikirkan setiap hari tentangnya, meski jelas beleum tentu ia memikirkanku, yang pasti sikapnya kemarin padaku menumbuhkan benih kebencian dalam hatiku. Meski ku tak yakin kebencian itu mampu menghapus namanya dalam kalbuku. Arya Prasetya, dia satu-satunya laki-laki yang ketika melihatnya, hatiku menjadi tenang, ingin sekali terus menatapnya, bercanda bersamanya,serta berbagi cerita dengannya. Aku mengagumi sikapnya, gaya bicaranya yang kalem, sopan, dan karismatiknya yang tinggi, selain itu wajahnya juga lumayan, menjadikan penyemangat diriku untuk selalu ke kampus. Dari awal kuliah hingga sekarang semester 4, aku masih belajar mencintai progam studiku, pendidikan Administrasi Perkantoran, kalau bukan karena Dia yang memutuskan, dan kalau saja aku boleh memilih tentu jurusan pertanian yang aku ambil dan akupun tak perlu membuang waktuku serta selalu belajar menyatukan perasaanku untuk mencintainya. Dari luar kamar terdengar suara ibuku yang berteriak membangunkanku, “Syah,cepetan bangun, nanti kamu terlambat kuliah” “Iya bu” Sulit sekali membuka mataku, membangunkan badankupun terasa berat, sikap arya membuatku membencinya, kadang aku bertanya “Apa yang salah dariku? Kenapa sikapnya seolah-olah membenciku?” Hari ini malas sekali aku kuliah, tapi aku sangat sayang ibuku, beliau telah berkerja keras sebagai single parent tentulah tidaklah mudah, aku telah berjanji dalam hatiku, kalau seumur hidupku aku tak mau mengecewakannya, dia lentera hidupku, meski penyemangatku telah mati, namun lenteraku masih menyala, aku masih dapat berjalan dalam kegelapanku. Ku putuskan untuk kuliah. Ku lihat ibuku telah bersiap dengan topi lebar terbuat dari anyaman bambu yang tertempel dikepalanya, serta sebotol air minum dan sebungkus nasi untuk makan siangnya terpengang di tangan kirinya. “Syah, ini uang saku untuk ke 2 adikmu ya, Nina dan Budi” katanya padaku. Ingin rasanya aku bercanda”kalau uang sakuku mana, bu” tapi rasanya hati ini tak tega, aku sudah sangat bersyukur dengan karuniaNya padaku, diizinkan kuliah tanpa biaya pendidikan sepeserpun, meskipun aku harus rela terperosok pada jurusan yang tidak aku impikan apalagi aku cita-citakan. Kuperhatikan pundak ibuku yang berjalan menuju ladang, ke dua kakinya yang kecil, serta usianya yang tak muda lagi, lebih-lebih kelelahan single perent yang dirasakannya 2 tahun sepeninggal ayahku, rasanya tak sanggup hati ini mempermainkan masa depan dipundakku. Setelah memberikan uang saku untuk ke dua adikku, akupun bergegas pergi ke kampus. Jarak kampus dari rumahku Gunung Kidul 3 km, masih dapat ku kayuh bersama sepeda kesayanganku, pembelian ayah waktu SMA. Kusandarkan sepeda biruku dideretan parkir khusus sepeda, tiba-tiba Arya dengan buku tebal berjudul“Kepemimpinan” ditangannya, lewat didepanku, tanpa menyapa. Menyebalkan pikirku, tapi entah kenapa meski ia cuek sekali denganku, bahkan akupun pernah menyapanya, ia berpura-pura tak tahu,menjadikan sejenak hati ini sakit, tapi aku tak sanggup menghapus namanya dalam hatiku. Aku hanya bisa memujanya dalam diamku. “Syah, tunggu, bareng” terdengar suara Nisa teman karibku dari belakang, kubalikkan badanku, ku lihat dia telah berlari kecil menuju arahku dengan tas merahnya serta snak ringan di tangannya. Aku tak merasa kaget kalau yang ditangannya itu makanan, justru aku akan kaget jika yang di tangannya itu buku. Dengan nafas terputus-putus karena harus berlari kecil membawa badan suburnya, tentu membuatnya kelelahan, ia berkata”Tugasku makul makul”Kepemimpinan” belum selesai,aku boleh nyontek tugas kamu ya?Please, Aisyah temanku yang cantik, ok?” mendengar rayuannya, membuat telingaku geli”iya, tapi tugasku tak menjamin benar semua, karena kaukan tahu, aku mengerjakan tugas sebatas mengerjakan” jawabku sambil tertawa. Ku lirik wajahnya, iyapun tertawa sambil berkata”ga masalah bagiku yang penting ngumpulin tugas, lebih baik mengerjakan tugas dan salah daripada ga ngumpulin sama sekali, ya toh?” ku hanya tersenyum, kamipun berjalan ke kelas kami. Ku lihat dari jauh, Arya sedang duduk didepan kelas, bersama Mutia, gadis tercantik kelasku. Bingung aku hendak bersikap bagaimana di dpannya, ku alihkan saja dia dan hatiku, berbicara tanpa henti dengan Nisa, dan berpura-pura tidak memperhatikan Arya, meski sejujurnya melihatnya bersama Mutia, aku merasa cemburu, tapi aku sadar, aku hanyalah penggemar gelapnya, yang tak seorangpun tahu, bahkan Nisapun tak tahu, karena ini menjadi rahasiaku dengan Allah. Tak sampe 5 menit aku dan Nisa duduk didalam kelas, dari luar, teman-teman yang awalnya di luar, berbondong-bondong masuk kelas, itu menunjukan dosen telah datang dan kuliah segera dimulai. Ku lihat Arya dan Mutia masuk kelas bersamaan, ku alihkan saja mengajak ngobrol Nisa. Dosen memerintahkan untuk dikumpulkan sebelum presentasi. Semua tugas telah tertumpuk dimeja dosen, hari ini giliran kelompok Arya yang maju ke depan dan mempresentasikan hasil wawancaranya dengan pihak kelurahan, tentang kepemimpina. Subhanallah, penampilannya hari ini, keren sekali, intonasi suaranyapun stabil dan berwibawa, cukup lama aku memperhatikannya menyampaikan materi, tapi setelah ku tersadar, akupun merasa malu, segera ku alihkan pandanganku pada buku bacaan yang semenjak tadi menempel di tanganku. Semoga saja Nisa yang duduk disampingku tidak sadar dengan sikapku padanya. Telah dibuka sesi pertanyaan, Nisapun mengangkat tangan dan bertanya, tetapi ia kurang pandai menyusun pertanyaanya, sehingga Arya, Mutia, dan Teman-temannya sulit membaca maksud Nisa, aku temannya, akupun paham maksud pertanyaan Nisa, dan sialnya aku disuruh Pak Joko menjelaskan maksud pertanyaan Nisa. Wajah Arya mengahadap padaku, sempat mata ini saling bertemu, konsentrasiku sempat buyar, ku layangkan pandanganku pada Mutia yang sedang mencatat pertanyaan. Jantungku berdetak keras, darahku mendidih, kringat dingin membasahi wajahku, sungguh aku nerves saat matanya menatapku. Ku coba bersikap wajar, ku dengarkan jawaban Arya menjawab pertanyaan Nisa tadi, jawabannya simple namun berbobot, membuatku semakin mengaguminya, sehingga tak mampu membencinya. Kulianya pak Joko telah selesai, akupun bersiapun untuk kuliah selanjutnya yaitu sosio Antopologi. Ku lihat Adil maju ke depan kelas dan berkata“Teman-teman ini ada tugas diskusi dari Bu Nurul, bahwa beliau tidak bisa mengajar karena sakit, ini sudah dibagikan anggota kelompoknya masing-masing” ku tak memperhatikan nama-nama kelompok yang seddang ditulis sekretaris kelas di depan, aku lebih konsentrasi membuat puisi dengan judul”Pantaskah aku untuknya”. Nisa memegang pundakku dan berkata”kamu satu kelompok dengan Arya, Vina dan Mutia”mendengar kata Arya disebutkan akupun kaget dan terdiam, tak ku tanggapi infonya, tapi aku bertanya dalam hati, kenapa harus ada Mutia. “Mutia dan Arya seperti berjodoh ya, Syah? Satu kelompok terus, bahkan aku dengar mereka kemarin jadian, cocok sih, Arya ganteng, Mutia juga cantik” terasa runtuh hati ini, pikiranku semaput, jantungku behenti sejenak, nafasku sesak, dan darahku panas, terasa tidak percaya dengan omongannya Nisa, namun ternyata kabar itu membuktikan kebenaran kabar burung beberapa waktu lalu, bahwa Arya mencintai salah satu wanita di kelasku, ternyata wanita itu Mutia. Aku tak berminat lagi mengikuti kuliah ini, biarlah tugas diskusi aku kosong, yang pasti aku ingin pulang. Ku bawa tas dan bukuku, segera tanpa ijin ataupun bicara, hanya ku beri tanda pada Nisa bahwa aku pulang, akupun berjalan dengan ketegaran nampaknya, namun dengan hati yang runtuh menerima kenyataan. Kakiku terasa lemas, berjalanpun terasa tak berenergi, aku hendak pulang, meski kaki ini berat untuk dilangkahkan, akupun berjalan ke tempat parker sepeda, 10 meter lagi hendak sampai, tetapi mataku tertuju pada musholah mungil, akupun mengurungkan diri untuk pulang, tapi aku putuskan menenagkan diri di mushola itu. Tak ku lihat satupun orang didalamnya. Jam menunjukan jan 10.47, masih ada waktu untuk sholat sunah Dhuha, segera ku ambil wudhu dan bergegas melakukan sholat 2 rokaat. Hatiku sedikit tenang mengingatNya, ku sempatkan tuk berdo;a padaNya, bertanya tentang sikapku yang mengaguminya, apakah ku salah? Ku tahu Mutia masih diatasku, dia lebih cantik dari pada aku,selain itu dia pintar, senyumnya manis, badannya seksi, sedangkan aku hanyalah wanita biasa. Allah kalau ia bukan untuk ku izinkan aku tuk melupakannya, izinkan aku untuk menghapus namanya di hatiku, izinkan aku tuk berhenti memikirkannya. Amin. Belum sempat kurapikan mukena yang membungkus badanku, tiba-tiba Arya telah berdiri di pojok sudut mushola, kakiku gemetaran, badanku sedikit menggigil,perasaanku sejenak menjadi kalud, aku benar-benar takut, jangan-jangan dia mendengar do’aku. Ku mencoba untuk tenang dan berpura-pura tidak tahu, segera ku rapikan mukenaku dan akan bergegas pulang. Ku lihat Arya berjalan ke araku dan berkata “Syah, kamu sama dengan Mutia, namun, kamu libih dekat denganNya, itulah nilai lebihmu, I Love You” sarafku berhenti sejenak mendengar itu, ku coba tuk berpikir logis, mukin ia Cuma bercanda atau salah ngomong,bukankah dia telah berpacaran dengan Mutia, dan ternyata ia mendengar setiap kata yang ku aduakn padaNya dalam do’aku. Ku bertanya padanya dengan keluguan “Ap Ar? Jangan bercanda, cinta bukanlah permainan dan lelucon” “apa maksudmu Syah? Aku benar-benar mencintaimu sejak lama. Namun ku hanya bisa menyembunyikan perasaanku lewat kecuekanku padamu. Baru kali ini ku bisa mengungkapkan perasaanku” mendengar jawabannya, sulit aku mempercayainya, akupun bertanya”kenapa tiba-tibakau disini, bukannya ada tugas diskusi? Ku lihat ia masih berdiri depanku dengan mata menatap tajam ke wajahku ku dengar ia berkata”aku menyusulmu, melihat kau pergi dengan raut wajah kekecewaan, akupun bertanya pada Nisa, katanya kau pergi setelah mendengar kata Mutia yang bersemayam di hatiku, padahal nama wanita yang terukir dihatiku adalah kamu, saya minta maaf,dengan sikapku yang angkuh padamu, tapi sejujurnya itu ku lakukan karena menyembunyikan perasaanku, aku terlalu takut, cintaku bertepuk sebelah tangan, jadi ku ku piker dengan kecuekanku padamu perlahan bisa melupakanmu, aku merasa tak pantas untukmu, sebagai wanita, kau terlampau sempurna, selain wajahmu secantik bidadari, kau juga mempunyai hati bagai malaikat, tapi setelah hari ini ku tahu, kau juga mempunyai perasaan yang sama denganku, aku bersyukur pada Allah. Hatiku telah tenang, semoga kita berjodoh, nantinya” ”subhanallah” hanya kata itu yang terucap dari bibirku mendengar pengakuannya. Sejenak aku tersadar,ternyata aku telah berdosa, membiarkan setan mempermainkan hatiku, hingga aku lupa bahwa aku telah berjanji dengan almarhum ayahku, bahwa dalam kehidupanku tak ada pacaran sebelum menikah, yang ada hanya pacaran setelah menikah. Mukena telah ku rapikan, hatiku telah tenang, tak ada perasaan yang mengganjal di jiwaku, ku katakan padanya” makasih Ar, kau telah mengingatkanku, arti sebuah keyakinan dan penghormatan, setidaknya sekarang kita sama-sama mengetahui perasaan kita masing-masing, kau perduli padaku, dengan pura-pura cuek kitika bertemu, agar ku tak terjerumus dalam lingkaran setan, dan tak terpedaya nafsu, , ternyata itu sebabnya meski sifatmu menyebalkanku namun ku tak sanggup membencimu, ternyata Allah lebih tahu” ku lihat ia tersenyum dan berkata”Alhamdulillah, kalau demikian, kita mempunyai pikiran yang sama, mulai besok aku akan pergi ke Amerika selama 1 tahun, pertukaran mahasiswa. Ku titipkan kau padaNya, dan aku minta percayakan hatiku padaNya pula, kalau kita berjodoh, yakinlah Allah akan mempersatukan kita” ucapannya menggetarkan hatiku, ku hanya mampu menundukan wajahku dan tersenyum simpuh, tanda aku menyetujuinya. Ku lihat ia menyodorkan selembar kertas bertinta, ku terima kertas itu, setelahnya, iapun pergi dengan mengucap salam. Ku lihat pundaknya dari belakang, seperti ayahku, berjalan meninggalkanku sendirian di musholah. Aku mencari tempat yang nyaman untuk duduk, meresapi untaian kata di kertas pemberiannya. Di samping musholah ku melihat pohon mangga dengan kursi kayu dibawahnya. Kamukah yang ku cari kalimat itu yang tertera dibagian atas, ku pikir ini sebuha puisi. Hatiku bergetar melihatmu, wajahmu secantik bidadari, hatimu semulia malaikat, aku malu pada diriku, lidahku membisu tuk menyapamu, namun mataku tak sanggup berpaling ketika melihatmu, tulang rusuk kiriku telah hilang, semoga kau mampu menggantinya. “subhanallah, semoga kita berjodoh” kataku dalam hati. Ku bergegas tuk pulang, ku ingin minta maaf dan menceritakan hari ini pada ibuku, tak mau ada hal yang ku tutupi darinya, karena ku sadar, semenjak ku mengagumi Arya, tetapi kecuekannya yang ku dapatkan, sifatku di rumah berubah, seperti bukan diriku sebenarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar