Laman

Jumat, 18 Mei 2012

Cerpen "Adikku dan Epilepsy"

ADIKKU DAN EPILEPSY Aku termenung disudut rumah sendiri berteman buku pelajaran yang membosankan bagiku. Besok aku ujian, ya begitulah umumnya mahasiswa, belajar giat ketika dekat waktu ujian. Akupun menjadi mahasiswa pada umumnya, bagiku belajar jauh-jauh hari itu tidak evektif , tidak ada tenaga pendorongnya, bagaimanapun aku percaya The power of kepepet. Belum sempat aku membaca, dan menghafal serta memahami buku itu, pikiranku keburu mubeng melihat buku-buku tebal tertumpuk di depanku, dan semangatkupun menjadi pudar. Akupun berdiri, dan berjalan ke dapur, berharap ada makanan yang dapat menemaniku belajar. Ku lihat di dapur jajanan pasar, makanan khas desa, seolah memanggil ku untuk mengambilnya, dan memakannya. Aku telah memegangnya dan hendak ku cicipi, belum sempat makanan itu menempel lidahku, aku terkaget mendengar suara,,,Prak,, Debog.. dari depan rumah. Aku segera berlari menuju sumber suara, ku lihat adikku Bambang Irawan telah tergeletak, kejang-kejang, meronta dan keluar busa dari mulutnya. Keempat adikkupun berkerumun ingin membantunya, tapi mereka hanya sebatas melihat, karena sudah ada ibuku yang membantu mengusap busa dimulutnya serta memiringkan kepalanya agar aliran nafasnya tidak sumbat. Mukin adikku hanya bisa melihat tapi aku masih bisa membantu ibuku meluruskan kakinya, mengambil bantal untuk sandaran kepalanya serta menbantu mengangkatnya ke lantai. Sebenarnya kalau tanpa dipindahkan tidak masalah, namun ibuku terlalu kasihan membiarkan adikku tergeletak tak berdaya diatas pasir, halaman rumah. Ku lihat adikku Bambang telah berangsur membaik, nafasnya tidak terengah-terengah lagi, busa dari mulutnyapun terhenti, dan setelahnya iapun tertidur, melepas kelelahan melawan kejang epilepsy yang bersemayam di dalam dirinya. Ku lihat ibuku berjalan ke dalam rumah dan kembali membawa selimut dan ia tutupkan di atas badan adikku yang malang itu. Aku melanjutkan belajarku yang tertunda karena makanan dan adikku. Sekarang ada makanan disamping buku-buku yang akan ku pelajari, namun pikiranku tak sanggup ku buka lagi, tertlalu penuh dengan bayangan-bayangn adiku tadi. Memang benar, nasibnya teralu malang, pikirku, ia tak bisa hidup normal seperti kami, kakak dan adik-adiknya, maupun hidup normal seperti orang lain, tak dapat bermain bebas, dan ruang geraknyapun terbatas, sehingga terpaksa ia harus ikhlas bersetatus tamatan SD, sedangkan aku kakaknya dapat bersekolah hingga menjadi mahasiswa, 2 adiknya pelajar SMP, 1 anak SD dan yang bungsu belum bersekolah. Kami 9 bersaudara, aku anak ke 4 dan ia anak ke 5, anak penengah yang diharapkan menjadi tempat memecahkan seetiap persoalan keluarga, tetapi melihat kondisinya yang demikian, akupun ragu, ia dapat berperan sebagai penegah Kami kakak beradik, namun, jarak kelahiran kami yang terlampau dekat, hanya 1 tahun, serta, hari lahir kami yang sama, menjadikan kami mempunyai banyak persamaan dan seolah anak kembar. Ikatan batinku dengan dia lebih rekat dibandingkan ikatan batinku pada ke 4 adikku yang lain, meski kami kadang saling iri dan sering kali bertenngkar, dan ketika kami bertengkar, ibuku yang mererai, karena kakak-kakakku merentau dan ayahku selalu diladang dari padi hingga sore. Itu dulu, ketika aku masih anak-anak dan ketika epilepsy yang bersemayam dalam dirinya belum separah sekarang. Waktu kecil ia masih dapat bermain, berlari-lari bersama teman-teman sekolah SDnya, keceriaanya terputus ketika ia menginjak kelas enam SD. Tak tahu asalnya dari mana penyakit itu datang, ayah dan ibukupun tak tahu, apalagi aku. Kelas 2 SD, kulihat dari hidung bambang adikku, keluar darah yang tak henti-henti, malamnya ia kejang, dari keluarga sudah membawanya ke puskesmas, karena kami hanya mampu membawa ke puskesmas. Setiap hari khususnya malam, adikku kejang, tak lama hanya kurang lebih1 menit, sehari 2 kali waktu itu. Namun sekarang setiap tahun, presentasi waktu kejangnya semakin padat. Hingga pada usianya yang hampir 18 thn setiap harinya tak kurang dari 20 menit, ia kejang dan mengeluarkan busa bahkan setiap malam ia membangunkan kami dengan menjerit dan berteriak sendiri, setelah paginya kami bertanya padanya, ia tak sadar berteriak atau bahkan tak sadar membentak ibuku, orang yang selalu membantunya dan ada disampingnya. Ia kehilangan kesadaran mungkin selain epilepsy yang bersemayam di badannya, aku pikir, setan atau jinpun ikut singgah di raganya Tidak setiap malam ia berteriak dan membantak kami, biasanya pada saat-saat tertentu, atau pada kondisi tertentu, misalnya pada saat ia paginya terlalu kelelahan mencari kayu bakar, atau karena ia melakukan ibadah, sehingga kami pikir ketika ia mau sholat dan berzikir kepada Allah, seolah di dalam dirinya ada yang marah. Pernah aku melihat, dan mendengar, ibuku berdoa dalam sholatnya, yang intinya ia bertanya padaNya, apa salahnya dan suaminya sehingga Allah berikan cobaan epilepsy untuknya. Aku merenung memikirkan ayah ibu serta kemalangan nasib adikku. Apakah nanti adikku dapat berkeluarga, apakah ada wanita yang mau menikah dengannya, sedangkan dia, setiap harinya tak kurang dari 50 kali ia kejang-kejang dengan mulut berbusa, hidupnya harus berhati-hati terhadap air, dan api, maupun benda-benda tajam yang membahayakannya, sedangkan kami keluarga biasa, bukan orang yang bergelimangan harta. Aku terlalu jauh berpikir, semakin aku berpikir, otakku semakin tertutup memasukkan bahan ujian diotakku. Aku berdiri dan berjalan lagi masuk rumah, tak ku lihat Bambang di tempatnya, ku pikir ia telah pergi lagi, tak tahu kemana, biasanya ia main kerumah Wa KO saudara kami di belakang rumah, duduk diterasnya, dan mengobrol disana. Ku tahu secara naluri ia ingin hidup normal, kalau bisa ia ingin sekali bermain dengan teman-teman SDnya, naik sepeda bersama, yang tentunya teman-temannya sekarang saya yakin telah menjalani hidupnya masing-masing baik sekolah maupun berkerja. Kami tak kwatir jika Bambang main di Wa KO , karena Beliau sudah paham dengan penyakit adikku dan akan membantunya. Ku lihat ibuku sedang menggoreng tempe dan akan memasak sayur kangkung kesukaanku.”Ku bantu ya Bu? Tanyaku padanya, ku lirik wajah tuanya yang lelah dan ku dengar ia berkata “ Tidak usah Sri, kamu harus belajarkan? Besok ujian, jangan sampai nilaimu rendah, nanti beasiswa kualihmu dicabut”. Aku hanya tersenyum dan segera ku potong sayuran kangkung yang dari tadi berdiam diri sendirian tak terjamahkan, dan ku katakana padanya”santai saja Bu, masalah beasiswa, insya Allah masih aman, nilai saya juga masih diatas nilai minimal yang ditentukan universitas” “Bambang kemana Bu?” tanyaku padanya mengalihkan pembicaraan, meski ku tahu kemana biasanya ia pergi”main ke Wa KO” katanya aku hanya terdiam, sejujurnya aku ingin berkata sesuatu, agar ikhlas dengan penyakit anakknya namun aku bingung menyampaikanya, karena ku sadar aku hanyalah anak yang tak tahu apa-apa tentang beban orang tua. “Sri, apakah penyakit epilepsy tidak dapat disembuhkan? Mendengar pentanyaannya, aku sedikit kaget namun aku merasa mempunyai kesempatan untuk menyampaikannya. “bu, semua penyakit itu ada obatnya, kecuali kematian, demikian juga epilepsy” ku berhenti sejenak ku lihat ibuku tak merespon, ku tahu mesti bayak pikiran yang bersemayam dalam kepalanya. Ku lanjutkan pernyataanku” Bu, bukankah ibu dan ayah telah berusaha keras, habis-habisan mengobati bambang, mukin Allah belum memberi kesembuhan, sekarang ibu tawakal saja menyerahkan semuanya pada kehendak Allah, Bu Allah itu memberi yang terbaik untuk makhluknya, termasuk memberi epilepsy pada Bambang, mesti ada baiknya. Kalau dipikir-pikir, itu lebih baik buat bambang, coba bayangkan, kalau Bambang sehat, bisa jadi ia akan sangat nakal, sakit saja dia bandel, apalagi sehat, bisa-bisa hari-harinya di luar rumah. Selain itu, bukannya selama ini yang menemani ibu di rumah itu Bambang?, mana bisa saya, dan adik-adik lain, menemani ibu, kitakan sering di luar rumah, kita harus sekolah. Dan satu lagi Bu, saya mendengar hadis nabi, bahwa suatu ketika, Nabi Muhammad Saw, kedatangan seorang wanita yang minta di do’akan, agar ia sembuh dari penyakit epilepsynya, namun Nabi menawarkan padanya, dapat nabi do’akan dan ia sembuh, atau ia ikhlas dengan penyakitnya dan mendapat surgaNya, wanita itu memilih ikhlas dan minta dido’akan agar ketika kejang-kejang auratnya tidak terbuka. Jadi bu, semoga saja Bambang akan mendapat surgaNya kelak, amin, karena kehidupan surga itu lebih enak dari pada dunia ini” ku hentikan ceramahku yang kepanjangan dan terdengar sok piter itu, lagi-lagi kulihat wajahnya yang hampir selesai menggoreng tempe, ku lihat senyuman kecil dari bibirnya, aku meresa lega. Ia sadar aku melihatinya, iapun mengalihkan pembicaraan dengan berkata” ini sri , tempe gorengnya dah matang, kamu bisa mencicipi, untuk kangkungnya, kamu saja yang masak ya? Ibu mau melihat dan mengantarkan tempe goreng ini ke Bambang” aku tersenyum dan tertawa dalam hati ku jawab”iya bu” ku lihat ibuku pergi, berjalan ke rumah Wa Ko, dengan beberapa potong tempe goreng di dalam piring di tangannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar